Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 6)
Teks Hadis Kesembilan
Diriwayatkan dari Humayd bin Abdurrahman al-Himyari, dari seorang lelaki dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبَهُمَا جِوَارًا، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِي سَبَقَ
“Jika ada dua orang yang mengundangmu secara bersamaan, maka penuhilah undangan orang yang pintunya lebih dekat. Namun, jika salah satu dari mereka mengundang lebih dahulu, maka penuhilah undangan orang yang lebih dahulu mengundang.” (HR. Abu Dawud no. 3756. Hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.)
Meskipun dha’if, hadis ini memiliki syahid (penguat) dalam konteks memberi hadiah, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 6020) dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
“Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku harus memberikan hadiah?” Beliau menjawab, “Kepada yang pintunya lebih dekat denganmu.”
Kandungan Hadis
Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang diundang oleh dua tetangganya secara bersamaan dan tidak memungkinkan untuk memenuhi kedua undangan tersebut sekaligus, maka:
1) Jika salah seorang dari mereka lebih dahulu mengundang, dia harus memenuhi undangan yang lebih dahulu mengundang, meskipun jaraknya lebih jauh. Hal ini karena orang yang lebih dahulu mengundang itu memiliki keutamaan dan kewajiban untuk memenuhi undangan telah berlaku sejak undangan pertama tersebut disampaikan. Kewajiban ini tidak gugur hanya karena terdapat undangan dari orang yang kedua.
2) Jika keduanya mengundang pada waktu yang sama (dua undangan tersebut dia terima secara bersamaan), maka dia harus memenuhi undangan tetangga yang pintunya lebih dekat. Hal ini karena kedekatan pintu rumah itu menunjukkan kedekatan dalam bertetangga.
3) Jika jarak keduanya sama, dia harus memenuhi undangan dari orang yang lebih berilmu dan lebih saleh.
4) Jika keduanya juga sama dalam hal-hal tersebut (poin ketiga), maka dilakukan pengundian (undian dengan cara yang adil). Orang yang terpilih melalui undian itulah yang undangannya harus dipenuhi, karena undian berfungsi untuk menentukan hak dari orang yang setara.
Hadis ini juga menunjukkan bahwa kedekatan yang dipertimbangkan adalah jarak antara pintu rumah. Maka, jika salah satu tetangga memiliki pintu yang lebih dekat dibandingkan yang lain, dialah yang lebih utama. Wallahu Ta’ala a’lam.
Teks Hadis Kesepuluh
Dari Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan walimah untuk salah satu istrinya dengan hanya (menghidangkan) dua mud gandum.” (HR. Bukhari no. 5172)
Dalam hadis ini, tidak dijelaskan siapakah istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
لم أقف على تعيين اسمها صريحًا وأقرب ما يفسر به أم سلمة
“Saya tidak menemukan penegasan nama istri beliau secara jelas, dan yang paling mendekati adalah Ummu Salamah”; kemudian beliau menyebutkan hal-hal yang mendukung pendapat tersebut. (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 432)
Teks Hadis Kesebelas
Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالمَدِينَةِ ثَلاَثًا يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ، فَدَعَوْتُ المُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ أُمِرَ بِالأَنْطَاعِ، فَأَلْقَى فِيهَا مِنَ التَّمْرِ وَالأَقِطِ وَالسَّمْنِ، فَكَانَتْ وَلِيمَتَهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam singgah di antara Khaibar dan Madinah selama tiga hari, lalu menikahi Shafiyyah binti Huyay. Beliau mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya, namun walimah tersebut tidak menyajikan roti maupun daging. Beliau memerintahkan untuk mengambil lembaran-lembaran kulit (sebagai alas), kemudian di atasnya diletakkan kurma, keju kering, dan minyak samin. Itulah walimah beliau.” (HR. Bukhari no. 5085 dan Muslim no. 1365. Lafaz hadis ini milik Bukhari)
Kandungan Hadis
Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebih-lebihan dalam mengadakan walimah. Beliau hanya menyediakan apa yang tersedia. Kadang-kadang dengan roti dan daging, seperti pada walimah pernikahan beliau dengan Zainab radhiyallahu ‘anha. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَيْهَا، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah untuk salah satu dari istrinya sebagaimana yang beliau lakukan untuknya (Zainab). Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 91, 1428)
Hal ini mungkin sesuai dengan apa yang diketahui oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, atau karena keberkahan dalam walimah Zainab yang dapat memberi makan banyak orang dengan hanya sedikit makanan, yaitu roti dan daging dari satu ekor kambing. Namun, beliau juga pernah mengadakan walimah untuk Maimunah radhiyallahu ‘anha dengan hidangan lebih dari itu.
Kadang-kadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah dengan makanan dari gandum, dan terkadang dengan mentega, kurma, dan keju kering. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan kelapangan atau kelonggaran bagi kaum muslimin, menunjukkan bahwa walimah sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf (wajar dan sederhana, tidak bermewah-mewahan). Hal ini menunjukkan bahwa walimah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan. Orang kaya mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya tanpa berlebih-lebihan atau bermegah-megahan, sedangkan orang miskin sesuai dengan kemampuannya, dan orang yang kondisinya berada di tengah-tengah (kelas menengah) juga demikian.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diperingatkan adalah apa yang terjadi pada banyak orang di zaman ini, yaitu boros ketika menyelenggarakan walimah. Seseorang mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menyewa gedung pernikahan atau hotel, ditambah dengan banyaknya jenis makanan yang disajikan, yang berujung pada banyak kerusakan (mafsadat). Di antaranya adalah begadang hingga larut malam, serta potensi tercampurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilath), baik antara tamu maupun pekerja hotel. Selain itu, sisa makanan sering dibuang begitu saja ke tempat sampah, yang merupakan perbuatan tercela. Semua ini adalah kemungkaran yang besar, dan termasuk dalam bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Dikhawatirkan nikmat tersebut akan hilang, disertai dengan hukuman Allah yang disegerakan.
Yang hendaknya dilakukan adalah menyederhanakan walimah sebisa mungkin, baik dalam jumlah tamu yang diundang, jenis dan jumlah makanan, serta menghindari begadang, terutama pada malam-malam musim panas. Jika memungkinkan, walimah bisa diadakan di rumah, atau jika perlu, menyewa gedung pernikahan dengan biaya yang wajar. Ini akan lebih jauh dari pemborosan dan pamer dalam penyelenggaraan walimah.
Demikianlah pembahasan hukum-hukum yang terkait dengan walimah yang kami ambil dari hadis-hadis yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah di kitab beliau, Bulughul Maraam. Semoga pembahasan ini dapat menjadi panduan bagi kaum muslimin. Wallahu Ta’ala a’lam.
[Selesai]
***
@Fall, 23 Jumadil awal 1446/ 25 November 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 430-435). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Artikel asli: https://muslim.or.id/101049-hukum-hukum-terkait-walimah-pesta-pernikahan-bag-6.html